Selasa, 28 Mei 2013

SEJARAH FISIKA DENGAN TEKNOLOGI DI JAMAN MESIR KUNO





Mutiara Peradaban Islam: Abdus salam (I)  
Bukan main!! Ummat muslim memiliki seorang fisikawan yang tangguh. Abdussalam namanya, Keberadaannya di dunia fisika sangat diperhitungkan. Bersama Sheldon glashow dan steven Weinberg ia mendapatkan hadiah nobel fisika (1979) karena menemukan teori fisika yang dapat menjelaskan substansi dari materi alam ini dengan lebih memuaskan.

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hasil gemilang “sang mutiara di tengah peradaban materialisme” ini, perlulah kita mengetahui sejarah pengkajian substansi alam materi ini, dari masa ke masa.
Sejarah pengkajian terhadap substansi alam materi dapat kita bagi menjadi enam masa dalam enam peradaban: peradaban mesir kuno (4000 SM), peradaban yunani (600-400 SM), peradaban kristen romawi (100 SM-700 M), peradaban islam (600-1200 M), peradaban kristen barat (abad 13-19 M) dan peradaban materialisme barat (abad 19 M-sekarang).
Seperti yang kita ketahui, awal dari pencarian substansi dari alam materi di dunia ini di awali oleh para pemikir peradaban mesir kuno (4000 SM) — sejauh yang tertulis di dalam sejarah. Para pemikir mesir waktu itu menghasilkan berbagai teori sepuar substansi alam ini. Pada prasasti yang ditemukan dari sisa-sisa peradaban ini, terukir teori air (air sebagai substansi alam materi), empat unsur (alam materi terdiri dari api, tanah, udara dan air), dan empat sifat (teori yang mengatakan bahwa basah,panas, kering dan dingin yang menjadi substansi dari alam materi ini). Teori-teori ini tidak mengalami perkembangan berarti selama peradaban mesir tersebut. Mungkin karena kecendrungan pragmatis bangsa mesir pada waktu itu dan sistem religius mereka yang menggunakan sistem kasta dalam kehidupan penelitian.
Ternyata, setelah ribuan abad kemudian ketika peradaban mesir mundur dan diganti oleh peradaban yunani (600-400 SM), peradaban yunani hanya melahirkan para pemikir yang cuma bisa meng-copy-paste sisa-sisa peradaban mesir tersebut, namun dengan sentuhan logika formal dan sistematis yang berkembang pada waktu itu. Thales (624 SM) mengcopy teori air, anaksamandros (611 SM) meng-copy teori empat sifat (585 SM), empedocles (500 SM) dan aristoteles (387 SM) mengcopy teori empat unsur. Sebenarnya, terdapat teori yang cukup murni, yaitu teori atomos yang digulirkan oleh demokritos, tetapi teori ini ditenggelamkan oleh teori-teori copy-an di atas tadi. Tradisi peradaban yunani tidak melahirkan suatu perkembangan yang berarti atas pencarian substansi alam ini.
Kejumudan ini mungkin dikarenakan tradisi analisa peradaban yunani yang terlalu mengedepankan proses filosofis dimana argumen rasional menjadi raja dalam segenap proses analisa. Dan parahnya, ketika yunani dipimpin oleh alexander agung dan mereka menduduki mesir, pengkajian terhadap substansi alam materi ini hanya dikhususkan bagi para pendeta alexandria pada waktu itu, padahal upaya pengkajian rasional saja tidak memadai untuk dapat mengetahui substansi alam yang nota bene-nya bersifat materiil ini, apalagi jika dikhususkan pada orang-orang tertentu saja. Alhasil, tidak ada kemajuan yang berarti atas upaya ini hingga 300 tahun lamanya!
Kemudian peradaban kristen romawi menduduki mesir, menggantikan peradaban yunani di mesir. Alih-alih membahas substansi alam, para intelektual kristen (yang terbatas pada kalangan gereja) disibukkan dengan pedebatan filosofis mengenai ketuhanan yesus. Tradisi rasionalitas dan sistem kasta menjadi tradisi kembali, dan lebih parah lagi, tuhan yesus lebih menarik daripada substansi alam materi ini! Pengkajian terhadap substansi alam serta merta anjlok! Membeku selama 800 tahun!! Hingga akhirnya islam hadir di mesir.
Ketika mesir diduduki oleh ummat islam, tradisi ini kemudian tergeser dengan cepat oleh tradisi analisa peradaban islam (700-1200 M) yang mengedepankan tidak hanya rasionalitas belaka (rasionalisme), tapi juga eksperimen praktis (empirisme) yang bersifat terbuka bagi siapa saja. Dalam tradisi ini, rasionalitas diimbangi dengan hasil eksperimen dan semua orang boleh melakukannya. Hal ini wajar, sebab secara teologis, islam memerintahkan kepada seluruh ummatnya (bukan sebagian) untuk mengedepankan fakta rasional (‘aqliyyah) dan empiris/tanda-tanda yang nyata (aayat al-bayyinat) sekaligus untuk dapat “mempercayai” suatu hipotesa (lih. Al-qur’an, 37:138 dan 20:128). Dan, pada zaman keemasan islam ini, entah bagaimana dan dari mana asal-muasalnya, para ilmuwan islam tergila-gila pada sebuah hipotesa bahwa: manusia dapat membuat suatu “Batu agung” atau yang pada waktu itu terkenal dengan sebutan al-iksir (elixir).
“Batu agung” ini adalah batu yang menurut hipotesa para intelektual waktu itu merupakan substansi sebenarnya dari benda-benda alam yang dapat merubah logam apapun menjadi emas!.
Mereka melakukan berbagai macam percobaan kimia untuk membuat “batu agung” itu, sehingga pada era ini, pengkajian terhadap benda-benda alam (terutama logam) berkembang dengan sangat pesat dan sampai-sampai Intelektual islam ini melahirkan suatu fenomena sosial baru yang disebut-sebut sebagai para alkemist. Ilmuwan islam yang kesohor dari golongan alkemist ini adalah jabir ibnu hayyan yang berhasil membentuk arsen dan timbal dari prcobaan kimianya (776M). Hasil sampingan dari pengkajian besar-besaran ini adalah berkembangnya ilmu hitung aljabar oleh penemuan besar al-khawarizmi (780?M), ilmu optik atau hubungan cahaya dan lensa oleh al-hasan ibn al-haytham (965M), ibnu yunus (awal 1000M), ilmu kedokteran oleh ibnu sina (abad 12) dan ilmu-ilmu lain yang bersifat sekunder dalam pengkajian ini.
Sekali lagi, di masa ini sebagaimana pada masa peradaban mesir dan yunani, pergulatan pemikiran mengenai substansi alam terus terjadi, namun peradaban islam memberikan warna baru padanya: tradisi eksperimen.
Sedemikian mendalam, tekun dan berkepanjangannya intelektual islam berjalan dalam semak-semak “substansi alam” ini sehingga ketika peradaban kristen barat tiba, “jalan baru” telah terbuka dengan lebar oleh “bekas-bekas tapak kaki” intelektual islam ini.
Para pemikir peradaban kristen barat seharusnya, sekali lagi seharusnya, melakukan pengkajian terhadap substansi alam ini dengan mudah dan sesegera mungkin, karena matematika telah terlukis cantik oleh khawarizmi dan tradisi eksperimen telah dipahat oleh para alkemist (tidak benar, jika dikatakan Bacon, seorang ilmuwan peradaban materialisme barat, sebagai bapak tradisi empirisme).
, ternyata, kristen benar-benar tidak belajar pada pengalaman mereka di zaman romawi, sehingga upaya pengkajian dipaksa berjalan terseret-seret – kalau tidak dikatakan berjalan di tempat — oleh intimidasi dan inkuisisi gereja. Para intelektual peradaban ini berakhir di tiang gantungan dan pisau guilottine bergiliran sejak inkuisisi papal tahun (1231) sampai dengan inkuisisi spanyol (1834). 600 tahun! kenyataan yang mengerikan, yang perlahan-lahan menjelma menjadi “ibu” yang “melahirkan” dan membesarkan peradaban materialisme barat sejak abad dimulainya inkuisisi itu hingga tumbuh semakin dewasa, di abad 21 ini.
Terepas dari krikit para teolog dan kuhnian atas penyalahgunaan sains oleh peradaban materialisme ini, baik eksplorasi yang serakah terhadap alam ataupun peperangan yang menjamur, baik ateisme atau kapitalisme, pengkajian terhadap substansi tetap saja berjalan, sebab curiosity adalah takdir bagi manusia yang berpikir. Oleh karena itu, berbagai penemuan yang berhubungan dengan pengkajian substansi alam materi ini terus-menerus dihasilkan oleh manusia-manusia berpikir di abad ini.
Dapat kita saksikan, Boyle (1627) mengkoreksi teori “tiga asas” dan menggantinya menjadi teori “unsur”, setelah itu, sekitar 100 tahun kemudian ditemukan konsep atom oleh dalton (1766), listrik oleh F. Du fay (1734), ditemukan hubungan antara reaksi kimia dengan gejala listrik oleh galvani (1737) dan volta (1745), listrik dan magnet Hans christian oerstedt (1777), kemudian ditemukan hubungan antara cahaya dengan gejala magnet oleh james clerk maxwell (1700), setelah 100 tahun kemudian ditemukan elektron oleh Thomson (1856), ditemukan hubungan antara elektron dengan cahaya yang melahirkan teori kuantum oleh max planck (1858) dan partikel cahaya (foton) oleh einstein (1879), kemudian ditemukan proton oleh Rutherford, dan Neutron oleh Cahdwick (1891). Kemudian, semakin mendalam dan teliti, pada abad materialisme ini juga, para penerus tradisi alkemist ini, menemukan partikel-partikel hadron, muon, lepton dan lain-lain. Ternyata, pengkajian terhadap substansi alam materi ini, tanpa di sadari, membawa manusia memasuki alam yang sama sekali baru bagi mereka, alam yang asing…alam partikel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar